Produksi ikan air tawar di Pringsewu meningkat setiap tahun. Bahkan, peningkatan tersebut melebihi target produksi. Seperti yang terjadi pada tahun 2012, produksi ikan air tawar mencapai 5.496,7 ton. Sementara target produksi hanya 5.177,22 ton.
Produksi ini meningkat kembali sebanyak 256 ton pada tahun 2013, dengan total produksi saat itu 5.752,70 ton. Kendati begitu, peningkatan produksi ini justru berakibat pada menipisnya penghasilan. Apalagi, saat panen serentak di sejumlah wilayah produsen ikan air tawar.
Bambang Suhermanu, pembudidaya ikan air tawar di Patoman, Kecamatan Pagelaran, mengakui hal tersebut. Kondisi ini, menurut dia, menerpa pembudidaya khususnya ikan lele yang harganya anjlok hingga kisaran Rp 12 ribu per kilogram (kg). “Harga di tingkat petani (pembudidaya) turun antara Rp 2.000 sampai Rp 3.000 per kg,” katanya, Sabtu (23/8).
Bambang memaparkan, Pringsewu sempat memasok ikan lele konsumsi ke Metro hingga wilayah Palembang, Bengkulu, dan Jambi. Namun, karena wilayah sasaran distribusi ikan tersebut juga masuk masa panen, permintaan pun semakin berkurang.
Di sisi lain, Bambang mengungkapkan ikan lele hasil budi daya di Pringsewu juga harus panen. “Kondisi inilah yang menjadi salah satu faktor harga lele turun ketimbang ikan emas yang harganya Rp 21 ribu per kg dan ikan gurame yang paling rendah Rp 20 ribu per kg,” jelasnya.
Kepala Bidang Bina Usaha Perikanan Dinas Peternakan dan Perikanan Pringsewu Hairul Fallah menuturkan ikan lele merupakan ikan air tawar paling favorit bagi warga setempat untuk dibudidayakan.
Pada tahun 2012, Hairul memaparkan produksi ikan lele tercatat mencapai 52,66 persen. “Baru menyusul ikan emas 31,05 persen, patin 4,16 persen, dan gurame 8,57 persen,” ujarnya.
Faktor pendorong ikan lele menjadi favorit warga Pringsewu, menurut Hairul, karena ikan lele lebih mudah dibudidayakan. Di antaranya, tidak memerlukan lahan yang luas dan jangka waktu budi daya hanya berkisar 60-70 hari.
Selain itu, sambung Hairul, permintaan konsumsi ikan lele tinggi karena durinya sedikit dan lebih banyak dagingnya. “Apalagi sekarang sudah ada agen pakan ikan yang bersedia bekerja sama. Petani tinggal bilang ke agen mengenai kebutuhan pakan dan bisa membayarnya saat sudah panen,” katanya.
Satu persoalan lainnya adalah biaya pakan yang membengkak serta fisik ikan lele yang akhirnya membesar. Itu lantaran ikan lele tidak segera dipanen ketika tiba waktunya panen dengan alasan harga masih murah.
Manager Marketing Central Proteinaprima Ahmad Burman menjelaskan pembesaran fisik ikan lele justru akan mengakibatkan nilai jual lebih rendah dari ukuran ikan lele konsumsi biasanya.
Ia mencontohkan dua ekor ikan lele dengan berat total dua kg. Menurutnya, ikan lele ukuran seperti itu sudah terlalu besar untuk konsumsi. “Sementara untuk digunakan sebagai indukan, juga belum siap. Kalaupun ikan lele satu darah itu dikawinkan, malah akan menghasilkan peranakan yang kurang baik untuk budi daya,” tandasnya. (Sumber : Tribun News)
Produksi ini meningkat kembali sebanyak 256 ton pada tahun 2013, dengan total produksi saat itu 5.752,70 ton. Kendati begitu, peningkatan produksi ini justru berakibat pada menipisnya penghasilan. Apalagi, saat panen serentak di sejumlah wilayah produsen ikan air tawar.
Bambang Suhermanu, pembudidaya ikan air tawar di Patoman, Kecamatan Pagelaran, mengakui hal tersebut. Kondisi ini, menurut dia, menerpa pembudidaya khususnya ikan lele yang harganya anjlok hingga kisaran Rp 12 ribu per kilogram (kg). “Harga di tingkat petani (pembudidaya) turun antara Rp 2.000 sampai Rp 3.000 per kg,” katanya, Sabtu (23/8).
Bambang memaparkan, Pringsewu sempat memasok ikan lele konsumsi ke Metro hingga wilayah Palembang, Bengkulu, dan Jambi. Namun, karena wilayah sasaran distribusi ikan tersebut juga masuk masa panen, permintaan pun semakin berkurang.
Di sisi lain, Bambang mengungkapkan ikan lele hasil budi daya di Pringsewu juga harus panen. “Kondisi inilah yang menjadi salah satu faktor harga lele turun ketimbang ikan emas yang harganya Rp 21 ribu per kg dan ikan gurame yang paling rendah Rp 20 ribu per kg,” jelasnya.
Kepala Bidang Bina Usaha Perikanan Dinas Peternakan dan Perikanan Pringsewu Hairul Fallah menuturkan ikan lele merupakan ikan air tawar paling favorit bagi warga setempat untuk dibudidayakan.
Pada tahun 2012, Hairul memaparkan produksi ikan lele tercatat mencapai 52,66 persen. “Baru menyusul ikan emas 31,05 persen, patin 4,16 persen, dan gurame 8,57 persen,” ujarnya.
Faktor pendorong ikan lele menjadi favorit warga Pringsewu, menurut Hairul, karena ikan lele lebih mudah dibudidayakan. Di antaranya, tidak memerlukan lahan yang luas dan jangka waktu budi daya hanya berkisar 60-70 hari.
Selain itu, sambung Hairul, permintaan konsumsi ikan lele tinggi karena durinya sedikit dan lebih banyak dagingnya. “Apalagi sekarang sudah ada agen pakan ikan yang bersedia bekerja sama. Petani tinggal bilang ke agen mengenai kebutuhan pakan dan bisa membayarnya saat sudah panen,” katanya.
Satu persoalan lainnya adalah biaya pakan yang membengkak serta fisik ikan lele yang akhirnya membesar. Itu lantaran ikan lele tidak segera dipanen ketika tiba waktunya panen dengan alasan harga masih murah.
Manager Marketing Central Proteinaprima Ahmad Burman menjelaskan pembesaran fisik ikan lele justru akan mengakibatkan nilai jual lebih rendah dari ukuran ikan lele konsumsi biasanya.
Ia mencontohkan dua ekor ikan lele dengan berat total dua kg. Menurutnya, ikan lele ukuran seperti itu sudah terlalu besar untuk konsumsi. “Sementara untuk digunakan sebagai indukan, juga belum siap. Kalaupun ikan lele satu darah itu dikawinkan, malah akan menghasilkan peranakan yang kurang baik untuk budi daya,” tandasnya. (Sumber : Tribun News)